“Kalau aku boleh jujur ... dia
memang gak sebanding dengan kamu, dia cantik, anggun, dia selalu mampu
mengambil perhatianku lalu mengalihkannya darimu, dia pintar memasak makanan
apa saja, dia selalu bersih dan rapih”.
Sakit, ada yang tergores jauh di dalam dadaku.
Kutahan anak sungai yang hampir turun seperti air bah, suaraku bergetar,
tapi tetap kupastikan aku baik-baik saja. Setelah percakapan itu, aku menutup
percakapan yang hanya sering kami lakukan ditelepon seluler.
Namaku Wina, 24 Tahun.
Sehari-harinya aku biasa dipanggil Mbak Wina, entah kenapa semua orang
terbiasa memanggilku dengan sebutan itu. Mereka bilang, muka Mbak Wina tuh adem
kalo dipanggil Mbak, kayak orangnya, baik, menyenangkan dan menenangkan.
Alhamdulillah, selalu kubalas dengan ucapan itu dan hanya tersenyum. Setelah
lulus kuliah, aku bekerja di sebuah Madrasah sebagai pegawai Tata Usaha.
Bertemu banyak senyum siswa dan siswi setiap hari, bertemu guru-guru yang
ramah,tapi tak pernah kutemukan senyum orang yang kucintai.
Dia ...
Ya, laki-laki yang membuatku tergila-gila akan cinta, laki-laki yang
membuatku menutup pintu hatiku untuk laki-laki lain selama sembilan tahun,
laki-laki yang membuatku merasa sangat berarti, laki-laki yang sangat kusayang,
laki-laki yang membuatku menyerahkan seluruh hidupku untuknya, laki-laki yang
membuatku rela melakukan apa saja untuk kebahagiaannya, laki-laki yang
mengalihkan duniaku dan laki-laki yang selalu menyakitiku, selalu.
Kadang, ingin kutanyakan pada Tuhan, apa cinta memang seperti ini ?
Bukankah cinta itu membahagiakan ?
Yang kutahu cinta tak pernah menyakiti, tak pernah membuat pilu seperti
ini.
Aku bertemu dengannya ketika menginjak kelas 3 di Madrasah yang kini
menjadi tempatku bekerja, bertemu sebentar saja. Berkenalan, kemudian semakin
dekat. Dia yang selalu bisa membuatku tersipu malu, membuat senyum simpul
dibibirku, membuat rona merah dipipiku, membuatku merasa dicintai. Ah sungguh
kala itu aku jatuh cinta. Mencintai laki-laki untuk pertama kalinya hingga hari
ini.
Apakah mencintai itu salah ? Atau aku tidak berhak mencintainya ?
Tiga tahun berjalan, sesuatu terjadi.
Kekasihku menjadi suami orang ...
Seperti tamparan keras, hidupku kemudian jungkir balik.
Ujian macam apa ini Tuhan ?
Tidak ada aba-aba untuk kejadian ini, tidak ada pemberitahuan, hidupku jadi
tak menentu, kehilangan arah, kehilangan keseimbangan, kesepian jadi teman
paling dekat saat itu.
Satu-satunya yang kulakukan adalah berserah diri kepada Tuhanku,
beristighfar dan bertawakal.
Kutatap hari baru, melangkah maju dan selalu mengatakan pada diri sendiri
“banyak yang harus kau kerjakan Wina, masih ada masa depan yang harus kau
kejar, masih ada keluargamu yang harus kau buat bangga, masih banyak teman yang
ikhlas membuatmu tersenyum dan masih ada diri sendiri dua tangan dua kaki dua
mata dua telinga yang membuatmu sempurna tanpa kehadiran seseorang dihatimu,
percaya dirilah”.
Kujalani semuanya semampuku, semampu yang aku bisa dan kemudian terbiasa.
Aku terbiasa dengan kesendirian dan kesepian.
Senyum yang kadang kupaksakan, lelah, tapi harus tetap kujalani.
Untuk bertahan hidup, tak lain dan tak bukan hanya untuk itu.
Ah hidup sungguh terasa sangat dramatis, kadang hati kecil selalu
mengatakan untuk tidak mendramatisir kehidupan.
Perlahan aku mulai berdiri dengan percaya diri.
Setahun kemudian, Dia kembali ...
Kembali disaat aku mulai mampu menghadapi hari-hari tanpanya, kembali
disaat aku mulai menyusun langkah baru, kembali disaat aku mulai berdiri
menatap matahari.
Aku hidup untuk siapa ya Tuhan ? Rencana apa lagi yang kau susun untuk
hambaMu ini ?
Aku letih bertarung melawan hari, melawan waktu yang kadang tak memberiku
kesempatan untuk berjuang membenahi diri.
Dia datang dengan muka berdosa, dengan penyesalan yang teramat mendalam,
datang menjemputku kembali untuk menyongsong hari-hari bahagia lagi bersamanya
dan bahkan dia menjajikan pernikahan yang agung didepanku. Pagar betis yang sudah kutahan ambruk ditelan kata-kata manisnya, rasa
penyesalan karena telah membuatku kecewa, dia masih sangat mencintaiku itu yang
kulihat saat aku menatap matanya.
Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua ! Untuk berubah dan untuk
memperbaiki diri.
Aku tak mampu menyembunyikan rasa cintaku yang masih sangat besar
terhadapnya, cinta yang dengan susah payah berusaha kuhapus dari hatiku, namun
tak berhasil. Aku kalah, dikalahkan rasa cinta yang masih terlalu besar, yang
tak mampu kuhalangi jalannya memang untuk kembali kepadanya.
Mengulang hari ...
Itulah yang kulakukan, aku mengambil keputusan kembali menerima orang yang
telah menyayat hatiku, menciptakan sebuah lupang kosong yang diisi kesepian
jauh didalam sana, kembali mencintainya meskipun dia sudah menjadi seorang
duda.
Sesederhana itu ?
Iya, hanya itu.
Dia berjanji untuk menikahiku, dan yang kutunggu memang hanya itu.
Yang kupercaya adalah aku mencintainya
Kuserahkan semuanya untuknya, untuk kekasih hatiku.
Singkat cerita, dua tahun berlalu.
Sesuatu yang tak pernah kusangka untuk kedua kalinya menimpa hidupku dan
hidupnya.
Dia kecelakaan, kecelakaan yang membuatnya belum bisa kembali berjalan hingga
hari ini.
Ini cobaan yang terlalu besar ya Tuhan, aku harus bagaimana menyikapi ini,
harus kemana ku temui dirinya ? Ke rumah sakit ? Ke rumahnya ? kemana ? Aku
panik saat itu, karena yang kami jalani ini adalah long distance relationship. Bertemu hanya sekali sebulan sekali dua
bulan bahkan sekali tiga bulan. Aku bingung, sedih bahkan aku merasa separuh
hidupku lenyap. Aku yang tidak bisa selalu berada disampingnya, menjaganya,
membuatnya tabah menghadapi hari-hari yang penuh dengan cobaan.
Sekali dua kali pernah kutemui dirinya, niat baikku memberikan perhatian
dan kekuatan, tapi jalanku untuk bertemu kekasihku semakin sulit. Pernah
berkunjung ke rumahnya, tapi tak bertemu dia karena dia sedang melakukan
pengobatan tradisional di tempat lain. Rasanya ingin menangis, tapi tetap
kutabahkan hati. Dilain kesempatan pernah mencoba menemuinya ditempat
pengobatan, tapi tetap saja ada halangannya, halangan yang membuat perih,
seperti direncanakan untuk memang tak bertemu dirinya. Sabarku masih bertahan,
komunikasi yang tak berjalan lancar hingga akhirnya aku tahu seseorang yang
lain yang menemani kekasihku menjalani hari-harinya yang sulit.
Kekasihku juga kekasihnya ...
Harus kutelan lagi pahitnya kenyataan, kenyataan yang selalu
menghempaskanku dari mimpi-mimpi indah yang kususun bersamanya.
“Jangan ganggu lagi hubungan kami Mbak ... aku dan dia sudah lama bersama,
aku mencintainya dan kami akan terus bersama, aku yang merawat lukanya, aku
yang menyuapkan makanannya, aku yang selalu memberikan semangat kepadanya,
tidak ada mbak disini, hanya ada aku dan dia, mbak bukan siapa-siapa disini,
aku yang mengisi hari-harinya dan aku yang berhak memilikinya”.
Semua pesan singkat ditelepon seluler ku selalu bernada itu, hanya
memintaku untuk tidak menghubungi kekasihku lagi, maksudku ... kekasihnya.
Tak terbendung lagi, sungai ini setiap hari selalu mengalir, do’a yang
kusampaikan pada Tuhanku belum dikabulkan, impian hidup sederhana dan menjadi
ibu dari anak-anaknya dimakan waktu. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi
kenyataan ini, kenyataan yang menghempaskanku untuk kedua kalinya.
Aku tak yakin melanjutkan cerita bersamanya, mengambilnya dari tangan
wanita lain sekali lagi, tak yakin memberinya kesempatan ketiga. Karena setelah
kesempatan ketiga akan ada kesempatan keempat kelima dan seterusnya.
Bukan dia yang salah, tapi aku.
Aku salah menerimanya kembali, salah memberikan kesempatan, salah masih
berharap dia berubah seperti janji manisnya yang dia ucapkan ketika itu. Ah,
sungguh mengahadapi kenyataan itu sulit. Sulit, tapi tidak terlalu sulit untuk
hidup pahit sekali lagi.
Tuhan tahu yang terbaik untukku, cobaan yang diberikan tidak pernah
melampaui batas kemampuan hambanya.
Ku tak melihat kau membawa
terang yang kau janjikan
Kau bawa bara berserak
dihalaman
Hingga kekeringan
Oh, dimana terang yang kau
janjikan
Aku kesepian
Dimana tenang yang kau janjikan
Aku kesepian
Sepi ...
Ku tak melihat kau membawa
tenang yang kau janjikan
Kau bawa debu bertebar
diberanda berair mata
Oh, dimana tenang yang kau
janjikan
Aku kesepian
Dimana terang yang kau janjikan
Aku kesepian
Sepi ...
Oh, dimana terang yang kau
janjikan
Aku kesepian
Dimana tenang yang kau janjikan
Aku kesepian
Dimana menang yang kau janjikan
Sepi ...
Sepi ...
Sepi ...
(Lagu Kesepian-Efek Rumah Kaca)
Untuk Mbak Wina tersayang (nama samaran), tetap semangat.
Mari menatap matahari sekali lagi, karena akan datang suatu hari paling
teduh Mbak, percayalah
0 komentar:
Posting Komentar